BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam
sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi tentang
eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran filsafat.
Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan
dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak
di alam dalam membuktikan adanya penggerak yang tak terlihat.
Tradisi
argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya ini
kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia keimanan
Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh
doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan
filosof-filosof seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini
juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf dalam penafsiran Islam.
Perkara
tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat. Ketika
kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun membahas tentang
eksistensi. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan
waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam.
Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian terhadap
satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.
Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang
disampaikan oleh para Nabi dan Rasul yakni, Tuhan hakiki itu bukan di langit
dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua tempat
dan segala realitas wujud.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu
Filsafat Ketuhanan?
2. Bagaimana
konsep tentang Tuhan dalam kajian Islam ?
3. Bagaimana
pembuktian wujud tuhan dalam islam ?
4. Bagaimana
pemikiran para filosof muslim tentang tuhan ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui
Filsafat Ketuhanan.
2. Mengetahui
tentang Tuhan dalam kajian islam.
3. Mengetahui
pembuktian wujud Tuhan islam.
4. Mengetahui
pemikiran filosof muslim tentang Tuhan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Ketuhanan
Plato (427-348 SM) yang belum sampai kepada meyakini adanya Tuhan, dan
baru berada dalam tingkat mencari sesuatu yang abadi sebagai pencipta pertama
dari alam ini mengatakan, bahwa filsafat adalah mencari hakikat kebenaran yang
asli. Sedangkan Aristoteles (382-322 SM) yang lebih menitikberatkan
penyelidikannya kepada pembagian ilmu filsafat menerangkan, bahwa filsafat
adalah semacam ilmu pengetahuan yang mengandung kebenaran mengenai ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Selain itu
ia juga mengatakan, bahwa filsafat adalah ilmu yang mencari kebenaran pertama,
segala yang maujud dan ilmu tentang segala yang ada yang menunjukkan adanya
penggerak pertama.
Dengan demikian, filsafat dapat digolongkan sebagai ilmu yang mulia,
karena ia berusaha bersungguh-sungguh untuk menyingkap sesuatu yang tersebut
dari yang tersurat, sehingga dapat menangkap inti dari suatu masalah.
Dalam filsafat Islam, al-Kindi lah yang mempelajari secara mendalam
mengenai filsafat Aristoteles pada hari-hari pertama zaman kejayaan Islam. Dan
dia berkesimpulan bahwa yang maujud hakiki itu tidak lain adalah satu yang
tunggal, yaitu Allah. Selanjutnya al-Kindi berusaha meluruskan dan menjelaskan
pandangan Aristoteles, sehingga pahamnya itu lebih mendekati paham Plato,
dengan menyatakan bahwa Allah adalah sebagai pencipta pertama dari segala yang
maujud. Al-Kindi lah orang pertama yang dapat mendekatkan paham filsafat dengan
keyakinan agama.
Filsafat
atau Falsafah adalah suatu pengetahuan tentang kebenaran sedangkan agama adalah
suatu ajaran yang benar, jadi antara filsafat dengan agama terlihat adanya
persamaan. Tujuan filsafat menerangkan apa yang benar dan apa yang baik,
sedangkan tujuan agama adalah menjelaskan kebenaran dan kebaikan (haq dan khair)
, yang benar pertama (al-haqqul awwalu
atay the first truth) (Ali 2007 : 7). Menurut al-Kindi adalah Tuhan.
Filsafat yang paling tinggi adalah Filsafat Ketuhanan, sebagaimana al-Kindi
mengatakan : Filsafat yang termulia dan tertinggi adalah filsafat yang utama
yaitu ilmu tentang kebenaran yang menjadi sebab bagi segala yang benar. Sesuai
dengan paham yang ada dalam konsep islam , Tuhan menurut al-Kindi adalah
pencipta. Alam menurutnya kekal di zaman dahulu, akan tetapi mempunyai
permulaan. Oleh karena itu , al-Kindi menyatakan bahwa yang Maha satu adalah
sumber dari alam dan sumber dari segala yang ada.
Tuhan adalah penyebab utama yang
menciptakan alam beserta isinya, yang Maha Esa dan menentukan perjalanan alam
serta awal dari segalanya. Menurut syariat Islam perkataan Tuhan diambil dari
kata Ilah yaitu untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau
dipentingkan manusia.
Dalam
al-qur’an , kata Ilah banyak sekali dijelaskan diantaranya adalah :
1. Q.S. 45
(Al-Jatsiyah) ayat 23
Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang
yang menjadi hawa nafsunya sebagai Tuhan.
2. Tuhan
adalah Dia sang Pencipta ; Q.S. Al-An’am 6;66;6;102
3. Tuhan
maha Pemelihara ; Q.S. al-An’am 6;102;59;24;13;26
4. Tuhan
Pemberi rezeki Q.S. Hud , 11;6;51;58;30;37
5. Tuhan tempat menyembah Q.S. Al-Qashas ,
28;70;6;66;20;14
Ayat diatas menunjukkan bahwa
perkataan Ilah (Tuhan) biasanya mengandung arti sebagai benda, baik abstrak
(nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata, perkataan Ilah dalam
Al-qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal [ilahun],ganda [ilaahaini], dan
banyak [aalihaatun], bentuk nol mustahil terjadi. Untuk dapat memahami tentang
definisi Tuhan yang tepat berdasarkan logika al-Qur’an adalah (Murata 1997) :
1. Tuhan
sesuatu yang dipentingkan oleh manusia sehingga manusia merelakan dirinyta
dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan menunjukkan/memberikan arti dapat
dipuja, dicintai, diagungkan, diharapkan, memberikan segala kebaikan dan
menghindar dari matra bahaya dan kerugian.
2. Tuhan
penyebab utama dari kejadian alam semesta, segalanya tunduk terhadap
perintah-Nya, bila perintah Tuhan tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan mala
petaka pada dirinya.
Ibnu Tamiyah memberikan definisi
Ilah yaitu Allah yang dapat dipuja dengan kecintaan, tunduk kepada-Nya, tempat
berserah diri ketika dalam kesulitan, berdo’a dan bertaubat kepada-Nya untuk
kemaslahatan diri , meminta perlindungan dari pada-Nya dan menimbulkan
ketenangan disaat mengingat-Nya dan terpaut cinta kepada-Nya.
Berdasarkan definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa tujuan mempunyai mempunyai zat dan sifat serta berbentuk yang
tidak sama zat dan sifat serta bentuknya dengan makhluk (yang diciptakanNya) ,
mustahil Tuhan itu tidak ada karena ada yang diciptakan-Nya berdasarkan logika
al-Qur’an setiap manusia berkehendak kepada sang Pencipta yaitu Allah SWT,
sebagaimana yang dinyatakan dalam satu kalimat tahlil yang berbunyi : “La
ilaahaillallah” tiada tuhan yang layak dipuja, disembah melainkan Allah.
B.
Konsep
Ketuhanan dalam Islam
Apakah
konsepsi tentang tuhan itu mungkin? Karena bangunan konseptual pemikiran
terdiri atas definisi-definisi yang jelas atas berbagai faktor, yang kemudian
dirangkai dalam suatu pengertian yang sistematik, koheren dan konsisten. Apakah
definisi tentang tuhan itu juga ungkin? Padahal tuhan tidak terbatas, mutlak
dan ghaib.
Secara
keilmuan, tuhan tak pernah dan tak mungkin menjadi kajian ilmu, karena kajian
ilmu selalu parsial, terukur dan terbatas dan dapat diuji secara berulang-ulang
pada labolatorium percobaan keilmuan. Dengan demikian, kehendak untuk
membuktikan adanya tuhan melalui pendekatan ilmu, akan mengalami kegagalan
karena sudah sejak awal tidak benar secara metodologis. Jika ilmu tidak bisa
menghadirkan tuhan dalam laboratorium untuk diujicobakan, bukan berarti lantas
tuhan tidak ada, karena yang terjadi adalah kesalahan pada pendekatan
metodologisnya.[2]
Al Qur’an
menggambarkan pencarian tuhan dengan menunjuk salah satu faktor alam yang
dianggap layak sebagai tuhan, digambarkan dalam logika Nabi Ibrahim mencari
tuhan-Nya. Al Qur’an 6:76-79 menegaskan :
“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah
bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang
itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam” (76).
“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah
Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata:
"Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, Pastilah Aku
termasuk orang yang sesat"(77). “Kemudian tatkala ia melihat
matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, Ini yang lebih besar".
Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan” (78). “ Sesungguhnya
Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan” (79).
Memasuki periode klasik, pemikiran
Yunani sudah mulai turun dari alam besar, dengan corak pemikiranya yang
dualistik. Manusia sudah mulai mengambil jarak dengan alam dan berusaha untuk
mengolah alam, dan dalam proses itu yang menentukan keadaanya adalah diri
sendiri, kemampuan berfikir, bukan ditentukan dari luar dirinya. Oleh kemampuan
manusia mengolah dan menundukan alam, maka ia dapat membentuk alam seperti yang
dikehendakinya, seakan-akan dialah yang menentukan segala-galanya. Manusia
mengatur segalanya seperti raja dan terus mengolah bumi, kemudian menjadikan
dirinya seperti tuhan. Tuhan sebagai yang menentukan dalam kehidupan ini,
dengan ditundukannya alam oleh kecerdasan manusia, maka manusialah yang
bertindak sebagai tuhan. Seperti kekuasaan raja Fir’aun yang mengangkat dirinya
sendiri sebagai tuhan yang memgang kekuasaan mutlak, zalim, dan menindas yang
lemah seperti yang digambarkan dalam Al Qur’an.
Pada perkembangan selanjutnya,
manusia telah mencapai puncak peradaban yang lebih tinggi, dengan membangun
simbol-simbol yang merefleksian kekuatan, kekayaan dan kekuasaanya. Maka
terjadilah pergeseran, dimana manusia lantas menunjukan kehebatnnya melalui
simbol yang dibuatnya sendiri, sehingga manusia memuja simbol-simbol yang dibuatnya
sendiri. Pada konsep ini, konsep tuhan atau yang dipertuhan, ternyata turun
lebih rendah lagi tingkatanya, bukan kekuasaan dibalik macro-cosmos atau salah
satu faktor dominan didalamnya dan juga bukan micro-cosmos, yaitu eksistensi
manusia dengan kekuatan ide dan kemampuan kecerdasan kreatifnya, tetapi turun
pada apa yang dibuatnya sendiri, yaitu simbolisasi dari benda-benda yang
dibuatnya sendiri, dengan mempertuhankan patung-patung, berhala-berhala.
Dari perkembangan berhala-berhala
atau patung-patung yang dibuatnya sendiri dan dipertuhankanya sendiri, maka
dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang makin canggih, manusia meciptakan
sistem kebudayaan yang berorientasi pada cita-cita sosial yang makin kompleks,
karena berhadapan dengan realitas sosial dan kehidupan masyarakat yang bersifat
plural dan kompleks. Pada perkembangan ini, manusia menciptakan ideologi dan
mengabdikan hidupnya untuk sebuah ideologi, bahkan mempertuhankanya, mereka
siap membela mempertaruhkan nyawa untuk memenangkan ideologisnya, suatu
perjuangan yang menuntut suatu totalitas
Konsep tuhan sebagai kekuatan
dahsyat yang menentukan kehidupan telah bergeser kepada sistem konsentrasi
kesatuan kerjasama elite kepentingan antara ilmu pengetahun dan teknologi
dengan kekerasan milter, kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi industrial yang
sifatnya sudah mengglobal, yang membuat dunia makin sempit dan batas-batas
negara mulai transparan dan terbuka, menuju apa yang disebut masyarakat dunia
yang terbuka, atau open society, dimana terjadi perpindahan yang cepat dan
bergerak dari satu daerah ke daerah lain tanpa bisa dihambat.
C.
Cakupan
Kajian Ketuhanan
Dalam
membahas ketuhanan, setidaknya ada 5 hal yang harus dicakup, antara lain :
1.
Wujud
Keberadaan
dan eksistensi Tuhan adalah masalah yang paling awal dan mendasar. Percaya atau
tidaknya akan adanya Tuhan, pada akhirnya akan mempengaruhi cara dan pola
kehidupan yang dijalani manusia. Beberapa argumen bukti adanya Tuhan dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Argumen
Naqli, yaitu argumen yang dikemukakan oleh ayat-ayat Al Qur’an atau wahyu
Illahi atau segala informasi yang diyakini berasal dari Tuhan. Beberapa bukti
eksistensi Tuhan dalam Al Qur’an antara lain adalah surat Al Ankabut (29):61 :
“Dan
sesungguhnya jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka itu: Siapakah
yang menciptakan langit dan bumi, dan yang memudahkan matahari dan bulan? Sudah
tentu mereka akan menjawab: Allah. Maka bagaimana mereka tergamak dipalingkan (oleh
hawa nafsunya)”.
b. Argumen
Aqli, yaitu argumen yang dikemukakan merupakan produk pemikiran rasio akal
manusia, sepanjang yang bisa dipikirkan dan yang mungkin terpikirkan. [3]
Beberapa dalil akal tersebut antara lain adalah :
1.
Dalil gerak
Ada suatu ujung yang tidak digerakkan
dan ujung itu merupakan suatu sumber segala macam gerakan dan tujuan akhir
semua gerakan yang disebut sebagai penggerak yang tidak digerakan.
2. Sebab Akibat
Setiap sesuatu tidak lepas dari
hukum sebab akibat. Dalam suatu rantai sebab akibat tersebut harus ada ujung
dari pada sebab, yang menjadi sebab utama sekaligus menjadi sumber sebab akibat
dan tujuan dari sebab akibat itu.
3. Dalil Wujud
Dalil kejadian bahwa setiap yang ada
pasti ada yang mengadakan. Tidak mungkin keberadaan alam ini tidak ada yang
mengadakan. Secara rasio akan meniscayakan adanya wujud yang pertama yang
menjadi asal dan paling fundamental-sejati.
4.
Dalil
Empiris
Bukti-bukti wujud Tuhan secara empiris maksudnya
adalah bukti yang didapat dari hasil pengamatan indrawi secara langsung
terhadap fenomena alam sekitar manusia, termasuk manusia itu sendiri
5.
Dalil
Psikofisik
Argumentasi yang berhubungan dengan keberadaan jiwa
manusia misteri jiwa tau ruh dapat mengantarkan kepada keberadaan tuhan,
melalui penempaan spiritual, atau juga melalui fenomena mimpi, sebagaimana yang
dialami para Nabi dalam menerima wahyunya.
e. Argumen
Moral
Argumen tentang nilai baik dan buruk yang ada dalam
realitas kehidupan nyata ini. Dalil Moral menyatakan kebaikanyang dilakukan
manusia akan memperoleh keselamatan sebagai imbalanya. Sebaliknya, siapa yang
berbuat kejahatan akan menerima imbalan kesengsaraan dan penderitaan.
2.
Dzat Tuhan
Pembahasan
tentang dzat Allah merupakan hal yang pelik dan membutuhkan pemikiran jernih
dan mendalam. Dengan demikian larangan berfikir tentang dzat Tuhan tidak
bersifat mutlak, namun melihat keadaan pemikiran seseorang.
3.
Sifat
Membahas
sifat tuhan tidak bisa dilepaskan dari dzat, wujudnya dan juga namanya. Sebab
sifat adalah suatu yang melekat pada suatu realitas, yang apabila sesuatu itu
lepas maka realitas telah kehilangan sebutanya.
Dalam hal pensifatan Tuhan, ada dua aliran pemikiran yang perlu dikenal,
yaitu aliran antrophomorfisme atau disebut sebagai tasybih, yaitu
menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat manusia yang dapat dikenali dengan mudah
oleh manusia. Sementara yang kedua teophomorfisme atau tanzih, yaitu ketidakserupaan sama sekali sifat tuhan
dengan sifat manapun mahluknya, dan hanya tuhan sendiri yang tahu hakekat
sifatnya.
4.
Nama-nama
Tuhan
Nama adalah
sebutan yang bersifat simbol yang dinisbahkan kepada suatu realitas. Nama-nama
tuhan adalah simbol yang digunakan untuk menunjukan realitas Tuhan, yang
mencakup wujud, dzat, dan sifat-Nya.
5.
Af’al, Perbuatan Tuhan
Yaitu apa
saja yang telah, sedang dan akan dilakukan Tuhan dalam kehidupan semesta ini.
Perbuatan Tuhan, juga tidak lepas dari maujud, dzat, nama dan sifatNya.
D. Sejarah
Pemikiran Manusia tentang Tuhan
1. Pemikiran Barat atau manusia
primitive
1. Teodisme
Adalah pembenaran ajaran agama
tentang kekuasaan dan aturan Tuhan yang menyangkut masalah penderitaan dan
adanya kejahatan dalam berbagai bentuk.
2. Theisme
Theisma mempercayai bahwa Theus
(penamaan Tuhan dalam bahasa Yunani) itu ialah awal dan akhir dari
segala-galanya.
3. Henotheisme
Masing-masing dewa memiliki
kekuasaannya sendiri-sendiri, misalnya Dewa Matahari kekuasaannya panas. Dewa
hujan kekuasaannya air. Ketika musim kemarau orang memuja Dewa Hujan. Untuk
mengambil hatinya, dikatakanlah bahwa Dia-lah yang paling berkuasa, bahkan
satu-satunya Dewa. Ketika musim hujan yang panjang, orang memrlukan Dewa
Matahari. Dikatakan pula bahwa Dia-lah yang paling berkuasa, bahkan
satu-satunya Dewa.
4. Ketuhanan
Maha Tiga (Trinitheisma)
istilah tersebut terkenal dalam
agama Hindu dengan Trimurti, dalam agama nasrani Trinitas atau Tritunggal.
Trimurti lahir dari Politheisma. Dari sekian banyak dewa, suatu ketika muncul
tiga dewa yang dipandang paling berkuasa atau paling diperlukan. Dalam agama
Hindu Purana muncullah Brahman (Dewa
yang mencipta), Wisynu (Dewa yang
memelihara ciptaan Brahman), dan Syiwa (Dewa yang merusak, melenyapkan
apa yang dicipta Brahman dan
dipelihara oleh Wisynu).
5. Monotheisme
Murni
Tuhan itu esa dalam jumlah, sifat
dan perbuatan. Tuhan memiliki sifat satu-satunya, tidak ada duanya. Tiap sifat
yang ditemukan pada alam, bukan sifat Tuhan. Tiap bentuk atau rupa yang
ditemukan dalam alam (termasuk dalam alam imajinasi pikiran manusia), bukan
bentuk atau rupa Tuhan.
6. Dinamisme
Paham ini mengaku adanya kekuatan
yang berpengaruh dalam kehidupan manusia, kekuatan ini terbentuk dalam
kehidupan manusia , kekuatan ini terbentuk dalam kepercayaan hayati yang
ditunjukkan pada benda-benda yang dianggap keramat.
7. Animisme
Paham ini mempercayai adanyan
peranan roh dalam kehidupan amnusia, roh dianggap selalu aktif walaupun sudah
mati. Paham ini membagin roh atas dua yaitu roh baik dan roh jahat.
E. Pandangan
para Filosof Muslim tentang Tuhan
1.
Al Kindi
Sebagai
filosof pertama islam, menyatakan bahwa Tuhan sebagai sebab pertama yang
wujudnya menjadi sebab bagi wujud yang lain. Dia mempersepsikan Tuhan sebagai
sebab beranjak dari keyakinan bahwa suatu kejadian tidak bisa terjadi karena
dirinya sendiri, tetapi terjadi karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain
itulah yang disebut sebab, sedangkan kejadian itu sendiri disebut akibat.
Kejadian selalu mengandaikan adanya perubahan, setiap perubahan atau kejadian
membutuhkan alasan yang memadai untuk pengaktualannya.
Tuhan
dikatakan sebagai sebab pertama, yang menunjukkan betapa Ia adalah sebab paling
fundamental dari semua sebab-sebab lainnya yang berderet panjang. Sebagai sebab
pertama, maka Ia sekaligus adalah sumber, dari mana sesuatu yang lain, yakni
alam semesta berasal.
2. Ibnu Sina
Ibnu Sina berpendapat bahwa Akal
Pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari
Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya. Dengan
demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib
wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan,
timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul
jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul
langit-langit.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya
Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan
salah satu makhluknya, tetapi cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul
Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni mumkinul wujud memerlukan sesuatu sebab
(’illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya
sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah, kita tidak
memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan
pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya.[5][5]
3. Al Ghazali
Dalam membuktikan adanya Tuhan,
Al-Ghazali juga memegang pendapat Asy’ariyah, yakni tertumpu pada bukti
teleology (kalamiah). Untuk itu dia menyatakan bahwa alam yang rumit
penciptanya dan kokoh aturannya itu pasti bersumber pada sebab yang mengatur
dan menata, sedangkan karya-karya yang kokoh menunjukkan ilmu dan hikmah si
pencipta. Mengenai problema sifat-sifat Allah, Al-Ghazali memegang pendapat
yang dianut oleh al-Asy’ari, sehingga dia tidak menerima pendapat aliran
Hasywiyah yang berpegang teguh pada arti dari suatu teks (ayat al-Qur’an dan
sunnah) agar mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat. Demikian juga
Al-Ghazali tidak menerima pendapat Mu’tazilah yang berlebih-lebihan dalam menyucikan
Allah, sehingga mereka harus menafikan sifat-sifat Allah. Yang paling baik
menurut Al-Ghazali adalah tengah-tengah. Menurut Al-Ghazali, Allah adalah
satu-satunya sebab bagi alam. Alam ia ciptakan dengan kehendak dan
kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebeb bagi segala yang ada, sedang
ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.
4.
Ibnu Thufail
Penciptaan dunia yang berlangsung
lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tidak bisa
maujud dengan sendirinya. juga sang pencipta bersifat immaterial, sebab materi
yang merupakan suatu kejadian dunia di ciptakan oleh satu pencipta. di pihak
lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membaca suatu kemunduran yang
tiada akhir yang adalah musykil. oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai
penciptanya yang tidak berwujud benda.dan karena dia bersifat immaterial, maka
kita tidak dapat mengenalinya lewat indra kita ataupun lewat imajinasi, sebab
imajinisasi hanya menggambarkan hal-hal di tangkap oleh indra.
Kekekalan dunia berarti kekekalan
geraknya juga, dan gerak sebagaimana di katakan oleh aristoteles, membutuhkan
penggerak atau penyebab efesien dari gerak itu.jika penyebab efesien ini berupa
sebuah benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu
menghasilkan suatu pengaruh yang tak terbatas.oleh sebab itu penyebab efesien
dari gerak kekal harus bersifat immaterial. ia tidak boleh di hubungkan dengan
materi ataupun di pisahkan darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi
itu, sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan
tanda-tanda material, sedang penyebab efesien itu, sesungguhnya lepas dari itu
semua.
F. KEDAULATAN TUHAN
Seluruh umat manusia dimuka bumi ini dianggap sebagai
warga dari sang pengguasa yang sebenarnya,taka da seorangpun di dunia ini ,
ataupun segolongan oaring didunia ini
mempunyai hak untuk menjadikan orang lain mengikuti dan tunduk
kepadanya.
Isi
kandungan tauhid sebagai ide yang diterapkan berisikan asas-asas persamaan,
solidaritas, dan kebebasan . setiap orang yang bertanggung jawab atas
urusan-urusan kolektif manusia diminta pertanggung jawaban dihadapan yang maha
kuasa atas terjadinya pelanggaran
terhadap ketetapanya.
Konsep pertangjawaban kepada allah atas pelanggaran
batas-batas yang telah ditetapkanya ini mejadikan setiap muslim menghindari untuk
melakukan tindakan pelanggaran hak-hak ini .
Dalam konsep kedaulatan allah ini adalah bahwa umat islam, baik dalam
kapasitas kita sebagai individual maupun dalam institusi koliktif mereka,
trikat harus melarang terjadinya tindakan pelanggran apapun.
BAB III
PENUTUP
Setelah menyelesaikan makalah ini,
kami dapat menyimpulkan bahwa konsep Ketuhanan dapat diartikan sebagai
kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang dianggap penting oleh manusia terhadap
sesuatu hal (baik abstrak maupun konkret). Filsafat Ketuhanan dalam Islam
merupakan aspek ajaran yang fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara
intensif.
Dalam membahas ketuhanan, setidaknya
ada 5 hal yang harus dicakup antara lain, wujud, dzat, nama, pebuatan dan
Sifat-sifat Tuhan. Serta didalamnya terdapat beberapa hasil pemikiran filosof
muslim yang turut menyampaikan gagasanya mengenai wujud tuhan yakni Ibnu Sina,
Al Kindi, Ibnu Thufail dan Al Ghazali.
B.
Saran
Sebagai
seorang pemula, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Karena
saran dan kritik itu akan bermanfaat bagi kami untuk memperbaiki atau
memperdalam kajian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr.
Musa Asy’arie, FILSAFAT ISLAM Sunnah nabi dalam berfikir, Yogyakarta :
LESFI, 2013
Prof. Dr. H.
Sirajuddin Zar, M.A, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004
Imam
Khanafie Al-Jauharie, Filsafat Islam Pendekatan Tematik, Yogyakarta: Gama Media
2006
Sumber : Nurhasanah, S.Ag, M.Ag dkk, Pendidikan Agama Islam, Palembang : Universitas
Sriwijaya, 2011 hlm.1-3
Drs. Nata Abuddin, M.A , Ilmu Kalam,filsafat,dan
tasawuf, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 1995
Prof. Dr. Musa Asy’arie,
FILSAFAT
ISLAM Sunnah nabi dalam berfikir, (Yogyakarta : LESFI, 2013) hlm. 153
Imam Khanafie Al-Jauharie, Filsafat Islam Pendekatan Tematik, (Yogyakarta: Gama
Media 2006) hlm.
45
Sumber : Nurhasanah, S.Ag,
M.Ag dkk, Pendidikan Agama Islam, Palembang : Universitas Sriwijaya, 2011
hlm.1-3